2 menit waktu baca

Sufi Pensiun

Kredit gambar muslim.or.id
Kredit gambar muslim.or.id

Saya menyenangi untuk mengamati kehidupan kelompok sufi karena satu hal: Mereka tidak memiliki beban dalam beragama. Agama dalam kehidupan kelompok sufi merupakan sesuatu yang inheren dalam kemanusiaannya. Oleh karena itulah, kelompok sufi meletakkan spritualitas sebagai agenda utama yang ditempuh dengan mekanisme tareqat.

Terkadang, saya membandingkan dengan kelompok Islam kota yang rigit dan militant dalam beragama disebabkan karena ketiadaan tareqat tersebut. Dengan tareqat, kelompok sufi memiliki guru yang “melindungi” mereka dalam menjalankan agenda kehidupan. Bahkan, keberadaan guru, yang juga disebut mursyid, membuat kelompok sufi lebih yakin menjalankan ritual, walau dalam pandangan kelompok di luar mereka terkadang tampak biasa saja, bahkan dalam ukuran tertentu, seperti nyeleneh. Di saat yang sama, kelompok Islam kota tidak memiliki mursyid. Karena ketiadaan itu, mereka harus bekerja keras secara individu untuk meyakini bahwa ritual yang mereka kerjakan sesuai dengan tuntunan agama.

Apa yang saya lihat dalam dunia sufisme  tentu sebuah amatan dari luar. Saya tidak mengalami pengalaman kesufian. Pengalaman tersebut khas orang yang telah memilih jalan sufisme itu. Sifatnya, tentu saja, sangat subjektif: Tidak bisa diverikasi dan dikurasi.

Secara pribadi, saya cenderung membiarkan saja ketika ada orang dari kelompok sufi yang menceritakan pengalaman subjektifnya itu. Walau, kalau boleh memilih, saya cenderung berpihak kepada pendapat bahwa pengalaman subjektif baiknya disimpan rapat-rapat.

Belasan tahun lalu, saya membaca sebuah rubrik dialog agama yang diasuh oleh KH. Said Aqil Siradj di surat kabar terbitan nasional. Saat itu, dia belum menjadi Ketua PB NU. Rubrik yang diasuhnya tentang ragam pengalaman keagamaan. Ada satu orang yang bertanya tentang pengalaman unik yang dialaminya. Pengalamannya begini: Satu hari, dia berada di dalam hutan untuk mencari kayu. Cuaca mendung. Hujan pun turun. Untuk menghindari hujan, dia terus berlari. Lalu, tulisnya di rubrik itu, “Hujan selalu berada di belakang saya.”

Said Aqil yang mendapat pertanyaan ini mengatakan bahwa itu merupakan anugerah kepadanya, “Tetapi,” kata Saiq Aqil, “pengalaman seperti ini lebih baik disimpan sendiri, tidak perlu diketahui orang.”

Dunia sufi selalu saja menarik, terutama bagi orang yang jengah dengan tuntutan dunia material yang ditandai dengan ukuran-ukuran objektif. Padahal, manusia tidak selalu berada di dunia material belaka. Selalu ada rahasia yang belum dapat diungkap. Ruang inilah yang coba ditangani oleh kaum sufi.

Golongan sufi meyakini bahwa di balik alam material ada hamparan tak terhingga yang hanya bisa diketahui oleh mata batin, bukan oleh mata kepala. Untuk sampai ke tahap itu, perlu adanya riyadhah, baik melalui zikir dan arahan dari mursyidnya.

Namun, di antara seluruh kisah-kisah hikmah yang dimiliki oleh kelompok sufi, tidak ada yang lebih menarik kecuali cara mereka memandang dunia dan segenap masalahnya. Pelaku sufistik selalu melihat tidak dengan cara kebanyakan orang. Pandangan-pandangannya selalu berlawanan dengan common sense. Contoh terbaik tentu saja datang dari riwayat Nabi Khaidir yang membuat Musa sekali pun tidak sanggup memahaminya.

Karena keluar dari keyakinan bersama, sikap dan pemikiran kaum sufi selalu tidak bisa menjadi panduan formil bagi tertibnya satu masyarakat. Di sinilah titik tengkar selama berabad-abad, dalam tubuh kaum muslim, yang menghadap-hadapkan antara kelompok formil dan sufisme. Pertengkaran yang ternyata tidak memberi manfaat, kecuali pewarisan kecurigaan dan salah persepsi antara keduanya. Padahal, betapa pun utopisnya, kedua golongan tersebut bisa saling menyapa. Bahkan, sekali-kali, berkerja sama.

 

Komentar Facebook
Kuy, berbagi...

0%