4 menit waktu baca

Selayang Pandang ISKADA

Selayang Pandang ISKADA
Kredit Gambar Facebook ISKADA

Ikatan Siswa Kader Dakwah (ISKADA) dibentuk awal sekali pastilah untuk merespon permasalahan sosial di masanya. Para pendiri lembaga itu, Tgk. Abdullah Ujong Rimba, Prof. A. Hasjmy, Tgk. Sofyan Hamzah dan Drs. A. Rahman Kaoy, melihat kalau peranan angkatan muda harus diberi porsi yang besar dalam penyelesaian persoala tersebut. Lalu, dibuatlah pelatihan untuk membentuk kader-kader penyampai pesan hikmah, kebenaran, dan kebajikan. Para pendiri tersebut lebih senang angkatan muda itu disebut dengan kader dakwah.

Awalnya, para angkatan muda yang diajak bergabung di ISKADA adalah yang terbaik di sekolahnya. Jadi, kader awal yang direkrut merupakan bibit unggul. Kader generasi pertama itulah yang menjadi tulang punggung dari organisasi ini. Kira-kira, demikian setting sejarah kelahiran organisasi yang menjadikan menara selatan Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, sebagai pusat admistrasi dan kegiatan organisasi tersebut.

Perbincangan mengenai ISKADA mulai naik ke permukaan setelah saya menulis esai untuk Edi Fadhil beberapa waktu yang lalu. Fadhil saat itu berulang tahun. Esai itu kemudian direspon olehnya dengan mengatakan kalau kami pernah bertemu di arena training ISKADA. Katanya, saat itu, saya bertindak sebaga pemateri. Saya tidak mengingat kalau kami pernah bersua. Terlebih saya tidak mengetahui kalau Fadhil pernah menjadi anggota ISKADA. Ternyata, pengakuan Fadhil itu memancing beragam pihak untuk memberikan respon yang sama, salah satunya Murizal Hamzah.

Murizal kemudian menulis satu status singkat di akun Facebooknya. Dia menyatakan kalau juga pernah mengikuti training ISKADA. Dia mengenang salah seorang mentor di organisasi itu yang cakap dalam berpidato. Kenangannya itu direspon oleh beberapa orang yang sekarang dikenal oleh publik: Sayed Muhammad Husen, Azwir Nazar, Aula Andika Fikrullah Albalad dan Zulkifli Hamid.

Ada banyak nama sebenarnya yang dapat saya tulis untuk menjejerkan siapa saja yang pernah terlibat dengan ISKADA, baik sebagai pengurus, anggota, keluarga besar atau simpatisan. Tetapi, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk hal tersebut. Walaupun demikian, nama-nama yang kini bisa kita sebut menjadi orang penting di Aceh membuat saya berusaha mengingat proses apa yang kami lakukan, sehingga sampai pada satu titik kesimpulan: bahwa ISKADA telah turut andil dalam setiap perjalanan setiap karir yang mereka lalui.

Ingatan saya langsung tertuju pada satu nama, A. Rahman Kaoy. Di ISKADA, dia dipanggil dengan gelar “Ayahanda.” Ayahanda A.Rahman Kaoy. Di antara pendiri organisasi itu, Rahman paling muda. Tetapi, ketika saya mengikuti training ISKADA di tahun 1999, Ayahanda Rahman sudah tampak sepuh. Akan tetapi jangan ditanya suaranya ketika berpidato: keras dan lugas. Dia orator ulung. Ayahanda Rahman sebenarnya sosok penting dalam memahami letak sejarah Islam Aceh kontemporer karena kedekatannya dua tokoh utama Aceh, Daud Beureuh dan A. Hasjmy.

Dalam satu percakapan, dia menceritakan kalau berhasil meredakan hubungan kedua tokoh itu yang naik turun. “Asal pulang ke Beureneun, saya menyampaikan salam Prof. A. Hasjmy kepada Abu Beureuh. Begitu juga ketika kembali ke Banda Aceh, saya menyampaikan salam kembali Abu Beureuh kepada Prof. A. Hasjmy. Padahal keduanya tidak saling mengirim salam. Dua tahun saya melakukan itu, sampai keduanya harmoni.” Saat itu, Rahman sudah menjadi mahasiswa di IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh.

Hubungan harmoni itu ditunjukkan dengan dukungan Daud Beureuh kepada Dewan Kemakmuran Mesjid Indonesia yang dipimpin oleh A. Hasjmy. Bahkan dalam satu dokumen arsip dari Ali Piyeung, tertera kalau Daud Beureuh, bersama Hasan Krueng Kalee dan Abdullah Ujong Rimba, berada di posisi Dewan Penasehat di organisasi itu. “Dewan Kemakmuran Mesjid yang sedang dibangun oleh A. Hasjmy harus didukung,” kata Daud Beureuh. Ayahanda Rahman, ketika mengenang kalimat itu, tersenyum dengan perasaan yang dalam sekali. Seperti ada rekaman yang berputar kembali dalam memori hidupnya.

Rahman juga meyakini kalau dakwah adalah pekerjaan yang terus-menerus dilakukan. Oleh karena itu, untuk menjaga keberlangsungan dakwah, maka harus ada agenda untuk mencetak kader dengan sungguh-sungguh. Baginya, mencetak kader adalah bentuk dari pembangunan sumber daya manusia, yang hal demikian mutlak perlunya. Atas reasoning itu pula, dia tidak pernah absen sekalipun ketika diundang memberikan ceramah penting dalam kegiatan training-training ISKADA.

Training merupakan kegiata rutin ISKADA yang dilaksanakan saban tahun. Bahkan bisa lebih dari sekali setiap tahunnya. Pola pelaksanaan training hampir serupa dengan training yang dilaksanakan oleh Pelajar Islam Indonesia. Hal itu terjadi karena anggota ISKADA yang menjadi anggota PII, begitu juga sebaliknya. Dalam setiap trainingnya, ISKADA memberlakukan disiplin ketat. Mulai dari jadwal belajar, istirahat sampai makan. Untuk menu makanan dari para peserta training disajikan dengan menu yang tidak kalah dengan ransum tantara, alasannya agar calon kader itu tahan banting ketika turun ke masyarakat kelak.

Materi training pun banyak berkisar tentang Pergerakan Islam, dakwah dan problem kemasyarakatan. Yang paling saya ingat dua topik: Ghazawul Fikr dan Probelamtika umat. Dua materi itu, sejauh amatan saya, menjadi materi kunci untuk membangun kesadaran peserta training, yaitu mereka dididik untuk mengatasi segala kekacauan yang sedang terjadi di atas muka bumi ini.

Sekarang, saya telah lama tidak terlibat dalam kegiatan ISKADA. Di media sosial, saya mengetahui kalau sekarang organisasi pengkaderan itu telah memiliki kantor sendiri. Tetapi plang nama masih ada di menara selatan Mesjid Raya Banda Aceh, yang seolah-olah menegaskan tentang cerita dari masa lalu yang terus bergulir ke masa depan. Cerita tentang harapan, semangat dan pengorbanan.

Komentar Facebook
Kuy, berbagi...

0%