3 menit waktu baca

Saya, Mirza, dan Kopi

Saya, Mirza, dan Kopi

Saya kembali berjumpa Mirza Ardi setelah sekian lama. Kalau dihitung-hitung, terakhir kali saya bertemu dengannya setelah kepulangan Mirza dari masa studinya di Melbourne University. Waktu itu, kami mengopi di Zakir Kopi, Banda Aceh. Memangnya, di mana tempat lain di Aceh yang bisa menjadi melting pot kecuali di warung kopi. Begitu juga perjumpaan dua hari yang lalu. Kami bertemu, lagi-lagi, di warung kopi. Di Dekmi Kopi, Darussalam.

Kami sudah terlebih dahulu menyepakati waktu pertemuan. Jam sepuluh pagi. Teng. Saya agak was-was juga kalau tidak bisa tepat waktu. Soalnya, Mirza baru saja tiba dari Inggris. Tentu, dia sudah membawa pulang disiplin masyarakat di sana. “Diundur tiga puluh menit, Za.” WA saya kepadanya. Dia menyepakati. Saya harus mengundurkan waktu pertemuan selama setengah jam karena ada acara yang harus dihadiri.

Beberapa menit sebelum kesepakatan perjumpaan, saya sudah tiba di Dekmi Kopi. Mirza sudah menunggu. Saya awalnya sempat celingak-celinguk sampai melihat dia melambai tangan.

Di tangannya sudah ada buku, yang dimasukkan kembali ke dalam tasnya. Saya tidak sempat melihat apa judul bukunya itu. Namun, dari linimasa media sosialnya, dia sering meresensi buku yang sedang dibacanya. Selama ini, dia membaca buku berkaitan dengan teori-teori politik. Mirza berbakat di wilayah itu bahkan sejak lama.

Di sisi meja juga ada Sanger –minuman campuran kopi, susu, dan gula. Tidak lama, martabak dua telur yang dipesannya tiba di meja. Mirza gemar menyantap makanan. Badannya terlihat semakin tambun. Rupanya, lockdown yang terlalu lama di Inggris, membuatnya tidak dapat beraktivitas fisik dari satu tempat ke tempat lain. Namun, dia masih membawa pulang warnah kulitnya yang kemerah-merahan. Makanan dan udara yang berkualitas di Inggris membuat penampilannya seperti terlihat “asing.”

Kami berbicara ini dan itu. Apa saja. Ngalor ngidul. Tentang hal yang sedang masing-masing kami kerjakan. Capaian. Kegagalan. Rencana. Bukan pembicaraan yang hendak mengubah dunia.

Tidak lama, satu orang teman saya bergabung. Dia dosen di UIN Ar-Raniry yang sedang studi doktoral di salah satu kampus di Pulau Jawa. Dia bercerita, tepatnya berkeluh kesah, tentang proses penulisan disertasinya yang tidak berjalan lancar karena pandemi Covid-19. Persoalan yang dihadapi juga oleh banyak orang di kondisi saat ini.

Dari Dekmi Kopi kami menuju warung kopi lainnya. Saya menumpang sepeda motor Mirza. Kami mondar-mandir mencari warung kopi yang dirasa kondusif untuk berbicara. Bahkan berusaha mencari warung kopi yang agak jauh dari keramaian. Memang, resiko mengopi di warung kopi yang terkenal adalah susah menolak ketika ada orang lain bergabung di meja kita. Memintanya untuk tidak bergabung sama saja telah bersikap tidak sopan. Dapat dikatakan, meja kopi di Aceh bukanlah domain privasi. Kita tidak bisa membatasi siapa yang boleh dan tidak untuk bergabung.

Akhirnya, kami melanjutkan percakapan di warung kopi Solong Ulee Kareng. Di Solong, diskusi semakin detail kepada pembahasan mengenai studi-studi Aceh yang sedang digarap. Selalu ada titik jenuh mengapa Aceh yang selalu dikaji. Oleh karena itu pemikiran untuk dapat keluar dari studi Aceh-oriented selalu mengemuka.

Setelah dari Solong, Mirza mengantar saya ke Solong satunya lagi di Lambhuk. Ketika kami melewati masjid Ulee Kareng, dari toa masjid terdengar lantunan tilawah Quran khas Indonesia. Saya mendengar qari melantunkan satu irama dalam seni membaca Quran, entah Bayati atau Rash. Saya mengikuti alunan itu dengan suara samar. Tiba-tiba Mirza memberi komentar, “Lah, Abang rupanya bisa ya mengaji seperti itu?”

Saya mengiyakan pertanyaan itu, sambil berkata hal serupa, “Bukankah tadi sambil mencari warung kopi yang sambil mondar-mandir itu, Mirza bilang: Bismillah aja, Bang.”

Kami tertawa serempak. Memanglah, alam bawah sadar itu terus mengendap. Sekali-kali muncul. Sejauh apa pun perjalanan yang telah dilakukan.

Komentar Facebook
Kuy, berbagi...

0%