2 menit waktu baca

Perlintasan Zaman

Perlintasan Zaman
Kredit foto www.wallpaperflare.com

Salah satu yang menyenangkan adalah perjalanan darat pagi hari dari Langsa-Banda Aceh, atau sebaliknya. Saya membayangkan apabila perjalanan itu dilakukan oleh orang-orang di awal abad kedua puluh dengan menggunakan kereta api, tentu akan lebih mengasyikkan. Atau, persis seperti perjalanan yang dilakukan di pulau Jawa. Melihat pohon yang berjejer berlarian, sungai yang mengalir jernih, padi menguning, dan tawa riang anak sepulang sekolah. Namun, kalau menggunakan moda transport umum, di Aceh mini bus yang dari dulu dikenal L-300 yang kini menjadi lebih eksklusif karena sudah dilengkapi dengan fasilitas AC, alamat bisa terlambat sampai di Banda Aceh. Bukan saja karena padatnya jalan dengan keramaian, melainkan juga supir harus memutar otak untuk terus mengambil penumpang yang naik di pinggiran jalan utama Banda Aceh-Medan.

Berbeda kalau kita mengambil waktu di malam hari. Biasanya, supir akan membawa dengan lebih kencang. Lagipula jalan lebih lengang dan tidak ada manusia yang tiba-tiba menyetop mobil pada pukul satu malam, kecuali di pasar-pasar kecamatan yang selalu saja masih lalu lalang orang. Perjalanan malam hari itu, entah dari atau ke Banda Aceh, selalu saja tidak melewatkan satu rutinitas: berhenti di daerah Matang Geulumpang Dua untuk menyantap sate.

Hal demikian seperti menjadi ritual perjalanan malam hari di Aceh.

Para supir sudah memilih warung sate mana yang akan disinggahi. Biasanya, supir tersebut akan mendapat jatah makan dan minum dari pemilik warung. Supir akan dilayani dengan baik di warung itu, karena dia dianggap berjasa telah membawa pelanggan-pelanggan lain yang merupakan penumpang mobilnya. Saya belakangan ini enggan menyantap sate di waktu tersebut, karena biasanya dari Langsa ke Matang memakan waktu paling lama empat jam perjalanan. Jadi kalau berangkat dari Langsa pukul sepuluh malam, di Matang akan tiba pukul satu lebih tiga puluh malam. Bukan waktu tepat menyantap sate dan nasi di jam tersebut. Untuk menunggu penumpang lain selesai menyantap makanannya, saya memesan kopi saja. Untungnya, warung-warung sate di Matang Geulumpang Dua kini menyediakan kopi jenis Barista. Ada perkembangan yang baik dari hari ke hari.

Terkadang, walau tidak sering, saya ikut bicara dengan supir. Pernah sekali waktu, ketika perjalanan kembali ke Langsa dari Banda Aceh, berbincang dengan supir. Rupanya, dia awalnya supir bus jurusan Banda Aceh-Medan. Di umur yang tidak lagi muda, dia memilih untuk mengemudi minibus, yang barangkali agak lebih gampang baginya. Satu kali saya penasaran tentang mengapa banyak terjadi kecelakaan bus di Aceh. Dia menceritakan tentang zaman yang berubah. Katanya, di masa dia aktif membawa bus, tidak sembarang orang boleh menjadi supir. Ada jenjang karir yang harus dilewati dari bawah. “Sekarang, hal itu sepertinya tidak begitu berlaku lagi,” ujarnya.

 

Komentar Facebook
Kuy, berbagi...

0%