2 menit waktu baca

Mencari Bre Redana

Kali pertama saya mengetahui kumpulan esai Bre Redana di kolom Udar Rasa Kompas akan diterbitkan, saya bergegas. Tentu saja, saya tidak melewatkan momen sebagai pemesan pertama buku tersebut. Tidak peduli berapa pun ongkos kirim ke Aceh.

Saya memberi tahu kabar gembira itu kepada Miswari. Dia ikut memesan. Hal itu adalah cara kami menghemat ongkos kirim.

Membutuhkan waktu berhari-hari juga menunggu buku itu sampai ke Aceh. Menjengkelkan. Jarak memang mengganggu sekali. Aceh terasa jauh. Di pinggir sekali. Orang di Aceh selalu terlambat beberapa hari, dibandingkan penduduk di pulau Jawa, untuk membaca buku terbitan terbaru. Mungkin ceritanya sama juga dengan terlambatnya orang di Indonesia membaca buku dalam bahasa Inggris. Selain lebih lambat sampai di tanah air, buku dalam bahasa asing itu harus diterjemahkan terlebih dahulu.

Apa yang menariknya buku Bre. Atau, apa yang mendorong saya untuk membaca pikiran Bre – – yang saya ikuti selama ini di Harian Kompas.

Alasan pertama, Bre saya ketahui berada dalam jajaran atas penulis Indonesia. Dia menulis fiksi dan esai reflektif di Kompas. Karena berada di posisi demikian, tentu dia contoh tepat untuk dicermati Kedua, Bre menawarkan satu genre penulisan yang khas. Cerita perihal itu, akan saya uraikan berikut ini.

Saya menggemari banyak penulis. Namun, saya memilih dua penulis untuk dipelajari stylenya: Fachry Ali dan Andreas Harsono.

Bagaimana dengan Goenawan Mohamad? GM.

GM memang esais terbaik yang pernah ada di Indonesia. Namun, hanya ada satu GM. Tidak ada orang yang bisa mencoba-coba menjadi dirinya. Pasti akan ketahuan. Hanya GM yang bisa meng-GM.

Namun, bisa jadi hal tersebut tidak berlaku untuk Bre. Walau, bisa jadi, tidak semua orang akan berada di levelnya.

Namun, bagi penulis yang lebih muda, Bre mengajarkan bahwa menulis adalah pekerjaan rohani. Saya bersungguh-sungguh mengatakan hal itu.

Cara Bre mendedah satu persoalan di esai-esai reflektifnya seperti mengajak kita untuk menyelami, bukan berselancar — dua frasa darinya ketika memberi respon tentang era digital yang kian mendesak.

Bre memberi sebuah cara penalaran yang tidak datar ketika mengamati sebuah realitas. Namun Bre tidak berhenti pada paparan realitas. Dia menafsirkan. Bahkan lebih dari itu, dia memberi makna.

Menafsirkan, kemudian memberi makna, merupakan pekerjaan reflektif. Penulis bertugas pada perkara itu, bahkan sejak awal ketika dia menulis kata pertama. Boleh dikata sebagai tanggung jawab yang harus dipikulnya. Apabila hal demikian terasa berat, sebut saja jalan yang harus dilalui oleh para penulis.

Itulah yang Bre lakukan. Dia menafsir dan memberi makna atas realitas dengan caranya yang khas. Dia tidak memakai kepalan. Bre lebih memilih menepuk. Memberitahukan dengan perlahan; daripada dengan berteriak. Dengan cara demikian, suara penulis akan lebih terdengar. Baik sayup atau keras.

 

Komentar Facebook
Kuy, berbagi...

0%