2 menit waktu baca

Kopi, Gus Dur, dan The Beatles

Kalau diingat-ingat, harusnya saya mengenakan kaos Koes Plus daripada The Beatles ketika mengopi di Village Coffee. Alasannya sederhana, saya lebih mengenal Koes Plus luar dalam daripada The Beatles. Pengetahuan saya mengenai grup band asal Inggris itu secuil. Lagunya yang hebat-hebat itu pun tidak sepenuhnya saya ketahui. Malahan, saya “mengenal” The Beatles melalui Koes Plus.

Koes Plus merupakan grup band asal Tuban, Jawa Timur. Tonny Koeswoyo merupakan kepala sukunya. Tonny Koeswoyo adalah penggemar berat John Lennon, pentolan The Beatles. Kedua musisi ini memiliki kemiripan, atau tepatnya, Tonny yang mematutkan diri dengan John Lennon. Wajar saja, Koes Plus di Indonesia, bukan di Inggris. Kalau posisinya dibalik, John Lennon yang berusaha menyerupai Tonny Koeswoyo.

Tiba-tiba teringat dengan kaos The Beatles yang saya kenakan itu karena melihat kombinasinya dengan kopi dan peci Gus Dur melalui foto yang diambil dengan baik oleh Miswari. “Kombinasi yang apik, “kata saya di dalam hati. Tiga kombinasi itu: Kopi, Gus Dur, dan The Beatles.

Melalui kopi, membuat kita saling bercakap dan bertemu muka. Fikar W. Eda menurunkan kopi dalam puisinya yang memikat. Salah satu petikan syairnya, “//Ada kopi ada cerita/Lain kopi lain cerita/Tak ada kopi tak usah banyak cerita/Ayo ‘ngopi, kita bercerita//”

Kopi adalah medium terbaik untuk menyelesaikan masalah, memulai urusan, dan mengakhiri hari. Tadi, beberapa jam yang lalu, saya memilih untuk mengopi. Awalnya sendiri. Lalu, iseng, saya menghubungi Miswari dengan memfoto satu gelas kopi yang masih mengepul asapnya. Tanpa basa-basi, dia langsung melaju, “Otw,” katanya singkat.

Sebelum dia datang, saya dikejutkan oleh sapaan teman lama di kampus IAIN Ar-Raniry dahulu. “Pesan kopi, Bang?” Sapa saya memulai perbincangan. “Iya, baru saja saya pesan,” jawabnya.

Tidak lama, Americano pesanannya datang. Kami berbincang sejenak. Bercerita kisah dari masa lalu. Tertawa untuk beberapa hal kisah konyol sekaligus marah ketika mengingat hal yang lebih serius. Namun, tetap saja, selalu ada kopi untuk memulai pembicaraan dengan topik apa pun.

“Lah, belum pesan kopi,” tanya saya kepada Miswari tidak lama setelah dia datang dan duduk. Dia pun bergegas memanggil pelayan. Pelayan itu pun cepat-cepat memesan kopi yang dia mau. “Kopi pancung saja, Pak,” katanya.

Kopi pancung nama lain dari kopi yang tidak penuh. Air kopinya setengah gelas lebih sedikit. Kopi pancung dalam tradisi kopi saring di Aceh pesisir adalah sebenar-benarnya kopi. Yang dituang digelas benar-benar kopi yang sudah diracik. Berbeda dengan kopi penuh. Setelah air kopi dituang digelas, lalu ditambah dengan air putih panas. Bagi yang tidak ingin kopi terlalu keras, bisa memesan kopi penuh.

Kopi juga bisa menjadi kombinasi yang tepat untuk peci Gus Dur. Peci yang disebut “Peci Gus Dur” itu berasal dari Gorontalo. Peci yang dibuat dari anyaman rotan menjadi populer setelah digunakan oleh Gus Dur ketika menjabat sebagai Presiden. Peci itu tampak anggun karena Gus Dur. Seakan-akan, peci itu menjelaskan juga cita-citanya untuk Indonesia yang lebih baik. Sepanjang hidupnya, Gus Dur tidak pernah lelah menyuarakan demokrasi, keadilan sosial, Hak Asasi Manusia, dan toleransi. Dari Gus Dur pulalah kita melihat NU dengan wajah seperti hari ini: terbuka, moderat dan modern. Semangat itu yang kini dikampanyekan untuk membentuk wajah Islam Indonesia di mata dunia.

Langsa, 4 Mei 2023

Komentar Facebook
Kuy, berbagi...

0%