2 menit waktu baca

Senja Kala Aceh

Senja Kala Aceh
Kredit gambar freepik.com

Ada tahun-tahun di mana studi tentang Aceh menjadi primadona. Saat itu – di tahun 2005-2012 – Aceh menjadi area penelitian yang terbuka. Di mana-mana Aceh diperbincangkan. Ruang publik pun dipenuhi percakapan mengenai Aceh. Aceh yang seperti ini; Aceh yang seperti itu.

Semua bergembira di tahun-tahun itu.

Setiap peneliti yang datang ke Aceh, entah itu bule maupun bukan bule, datang dengan membawa tas kosong, lalu pulang dengan isi tas yang penuh.

Banyak topik yang dikaji dari Aceh kala itu: Perang dan Damai, Syariah Islam, Bencana. Ketiga topik ini diputar-putar sedemikian rupa sampai yang sedang menempuh program magister jadi master benaran. Atau, mereka yang sedang mengerjakan disertasi doktoral jadi doktor yang sejadi-jadinya. Bagi mereka yang sedang mendapatkan dana penelitian, topik Aceh hampir-hampir jaminan kalau dana itu dapat turun, bahkan dari langit sekalipun. Di tahun-tahun itu – beruntunglah mereka yang terlibat di dalamnya – Aceh adalah primadona dunia.

Di mata banyak orang – baik peneliti asing maupun lokal – Aceh tanah yang eksotik. Turunnya mantan kombatan ke kota dianggap sebagai langkah besar untuk perdamaian dunia. Jabatan tangan mereka yang dulunya saling todong bedil dijadikan cerita yang mengalun indah. Di tempat lain, agama yang semakin menguat di Aceh – entah karena ulamanya, organisasinya, pemudanya, dan hukum formalnya, membuat Aceh selalu dipantau detik perdetik. Peneliti dari mana pun selalu memasang mata dan telinga lekat-lekat. Tidak boleh ada yang terlewat seinci pun. Apalagi cerita tentang bencana. Kisah orang Aceh mampu bertahan menjadi epos. Mengejutkan sekaligus mengharukan.

Tetapi masa-masa keemasan itu telah lewat. Aceh kini menjadi biasa. Saya suka menggunakan frasa itu. Frasa Aceh menjadi biasa disampaikan oleh seorang sosiolog ketika melihat hasil Pilpres tahun 2009 dengan kemenangan telak SBY atas Jusuf Kalla. Aceh yang sudah biasa-biasa saja sekarang membuat kajian mengenai Aceh semakin menurun. Aceh tidak lagi menjadi perhatian dunia.

Alasan peneliti bisa bermacam-macam. Ada yang menyebut karena integrasi politik sudah berjalan dengan baik. Mereka yang dahulunya memberontak sudah memberikan sikap hormat kepada negara yang dahulu dilawannya. Begitu juga diskursus agama di Aceh. Persoalannya itu-itu saja. Tidak ada letupan. Qanun atau Perda seperti tidak memiliki daya ledak seperti yang sudah-sudah. Ulama semakin menguat. Lalu, rata-rata orang di Aceh sudah gemar beribadah. Masjid berdiri dengan megah sepanjang jalan dan kampung. Tentang bencana pun dianggap narasinya selesai seiring berhentinya proyek rehabilitasi dan rekonstruksi. Garis pantai yang dahulu ditakuti, kini kembali ramai. Kota Banda Aceh yang luluh lantak dihajar gelombang, kini sudah gemerlap dan kembali kokoh.

Aceh sebagai sebuah provinsi memang masih berjalan, tetapi Aceh sebagai sebuah kajian seperti sedang menuju senja kala.

Apakah selama beberapa tahun ke depan, orang yang membicarakan Aceh tentang kisah masa lalunya yang berhubungan dengan perang, agama, bencana tok? Kalau hal demikian terjadi, malah mengingatkan saya kepada Aceh di era Orde Baru yang tidak banyak dilirik untuk diteliti, kecuali perhatian yang terlalu besar pada kisah-kisah tentang Revolusi Sosial, Revolusi Nasional dan Darul Islam. Sedangkan studi mengenai masyarakat yang berubah karena industrialisasi dan proyek modernisasi sedikit yang menyinggung – untuk tidak dikatakan nihil sama sekali.

Tentu saja tidak perlu ada ledakan dan amok dari Aceh, baru kemudian daerah ini dikaji kembali. Malah, senja kala studi Aceh ini dapat dijadikan sebagai momentum untuk membaca dari dalam, tentu melalui perspektif diri sendiri secara otonom. Ah, sepertinya harapan yang terlampau muluk.

Komentar Facebook
Kuy, berbagi...

0%