Saya memberikan materi mengenai menulis esai bagi mahasiswa IAIN Langsa yang sedang mengikuti pembekalan program Kuliah Kerja Nyata Melayu Serumpun. Ansor yang meminta saya mengampu materi itu. Tentu saja, terutama karena Ansor yang memintanya, saya menyanggupi. Pun, saya menyukai kelas-kelas menulis. Entah saya sebagai pemantik, maupun sebagai peserta. Kedua hal itu – pemateri dan peserta – sama-sama menyenangkan.
Sebenarnya, ada delapan peserta yang mengikuti format KKN itu, tetapi peserta yang mengikuti kelas saya hanya enam mahasiswa hsaja. Satu peserta “meminta izin,” sedangkan satunya lagi masih di Medan. Enam peserta itu terdiri dari lima perempuan dan satu laki-laki. Suasana kelas berjalan dengan baik dan lancar – dua frasa yang sebenarnya standar sekali dan berupaya menghindari kondisi sebenarnya.
Selain membagi pengalaman dari berbagai pelatihan menulis, juga memberi contoh dari esai-esai yang pernah saya tulis. Baik dalam bentuk opini, reportase-narasi dengan menggunakan kata ganti orang pertama tunggal, dan esai dengan perspektif orang ketiga. Ada antusiasme. Saya bergembira akan hal itu.
Namun, sebagaimana pekerjaan lain, apa pun itu, menulis membutuhkan konsistensi. Tanpa itu, tidak akan ada hasil sama sekali. Itulah mengapa saya menolak anggapan menulis itu gampang. Bagi saya, menulis merupakan pekerjaan yang paling berat. Apalagi jarang orang yang bisa hidup dengan layak – terutama secara ekonomi – dari pekerjaan sebagai penulis. Atas dasar itu, saya menyebut kalau menulis adalah pekerjaan di jalan yang sunyi.
Walau demikian, dunia tulis menulis tidak boleh berhenti. Harus terus didorong. Kita perlu lebih banyak lagi penulis guna menceritakan mengenai hal-hal yang asing di telinga kita. Kita membutuhkan penulis-penulis baru untuk memberitahukan kita tentang keadaan yang ada di wilayah ini dan itu.
Hal itu, bersama Ansor dan Khairil Miswar — yang merupakan editor utama Normal Press, yang dilakukan dalam program KPM mahasiswa IAIN Langsa beberapa waktu yang lalu. Alasan pandemic membuat program tahunan itu tidak dapat berjalan dengan baik, maka dilakukanlah sebuah penyesuaian dengan menjadikan kampung halaman masing-masing mahasiswa sebagai wilayah KPM.
Mereka diberi tugas – selain yang rutin selama KPM – menulis apa pun yang mereka lihat, dengar, dan rasakan tentang kampung halamannya. Siapa sangka, ternyata program tersebut berlangsung dengan sukses sekali. Mahasiswa IAIN Langsa kemudian menuliskan apa yang ada di sekitar mereka. Tulisan mereka rata-rata baik. Namun, yang paling penting itu, para mahasiswa menulis sebuah hal – yang menjadi pengetahuan bagi banyak pihak – yang tidak perna dibayangkan: desa terpencil yang memiliki tim tari hebat, wisata kuliner yang menjanjikan, problem sosial pasca konflik, dan cerita khas lainnya.
Apa yang ditulis, sebagai tugas dari program KPM, mengingatkan saya mengenai laporan pejabat kolonial setelah menyelesaikan tugasnya di tanah koloni. Mereka harus menulis satu laporan lengkap berkenaan dengan daerah yang dipimpin selama periode tertentu. Hal itu pula yang dilakukan oleh mahasiswa IAIN Langsa selama menjalani program itu. Sekarang, tulisan-tulisan mereka tersebut sedang dalam proses penerbitan. Akan ada empat buku, dibagi dalam beberapa tema besar, yang akan dapat dibaca oleh public secara luas oleh publik.