Setelah membagi tulisan saya, Senja Kala Aceh, di berbagai WhatsApp Group, Al Chaidar menelepon saya – tepatnya melakukan panggilan video. Selama ini, dalam urusan penyelesaian disertasinya mengenai The Darul Islam in Indonesia: An Anthropological Account on Millenarianism, Terrorism and Historical Debates, dia tinggal di Leiden. Teknologi sekarang begitu memudahkan. Saya membayangkan kalau percakapan itu kami lakukan di tahun-tahun 1980-an atau 1990-an tentu tidak akan segampang itu. Paling banter, karena telepon adalah barang mewah di masa-masa itu, maka menulis surat merupakan jalan satu-satunya untuk menceritakan kisah yang panjang. Seperti surat menyurat Ajib Rosidi, kepada nama-nama besar di Indonesia, yang dikirimnya dari Jepang.
Dalam percakapan kami, saya melihat Al Chaidar memakai pakaian berlapis. Kata dia, Summer kali ini di Belanda udaranya dingin sekali. Bagi orang yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di negeri empat musim, Indonesia, atau negeri musim-musiman seperti Aceh, kondisi cuaca demikian membuatnya harus mengeluarkan energi berlapis untuk melawan hawa dingin tersebut.
Namun, Belanda bukanlah negeri yang asing amat baginya. Lebih dari satu dekade lalu, dia sudah menginjakkan kaki di negeri itu, untuk melanjutkan studi Doktoralnya di Leiden University pada bidang Antroplogi. Al Chaidar menceritakan kalau dia sudah mempersiapkan segalanya untuk dapat menyelesaikan studinya tepat waktu, tetapi pesona Eropa membuatnya lebih sering berkelling benua itu daripada duduk untuk membereskan studinya. Dia menceritakan tanpa beban. Seperti fragmen yang terlewat saja dalam bagian hidupnya.
Kali ini, dia kembali ke Leiden untuk melanjutkan proyek yang sempat tertunda itu. Dari Leiden, dia melangkah ke Amsterdam, juga ke Den Haag guna menelusuri jejak-jejak yang selama ini raib dalam penulisan sejarah Indonesia kontemporer.
Al Chaidar adalah penulis prolific. Nama dia dikenal publik secara luas setelah menerbitkan buku Aceh Bersimbah Darah. Buku yang telah membawa namanya ke atas pentas Indonesia. Buku tersebut oleh para aktivis 1998 dijadikan sebagai pegangan untuk melihat Aceh dan relasi politik timpangnya dengan Jakarta. Sedangkan sebagai akademikus, Al Chaidar memiliki fokus pada gerakan sosial dan politik Islam. Dia menjadi referensi juga dalam melihat kelompok teror di Indonesia.
Namun, melalui telepon seluler, kami berbicara hal lain lagi: tentang penulisan sejarah Aceh. Saya mengajukan pertanyaan – selalu begitu kalau kami sedang berdiskusi, saya banyak bertanya dan Al Chaidar yang menjawab — apa yang perlu kita lakukan untuk menulis sejarah Aceh, atau apakah masih perlu hal itu dilakukan. Saya mengajukan argumen, yang hal itu disepakatinya, bahwa selama ini penulisan sejarah Aceh lebih menitikberatkan pada fokus tentang kisah-kisah dan orang-orang besar.
Setelah itu, saya bercerita tentang studi yang sudah menjadi klasik dari Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1988 dan Ong Hok Ham, Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priyayi dan Priyayi di Keresidenan Maduin Abad XIX. Karena Al Chaidar sedang di Leiden, saya bertanya, apabila sejarah Aceh ditulis dengan cara demikian, apakah kita memiliki bahan-bahan tersebut di Belanda? “Melimpah,“ jawab Al Chaidar.
Kemudian, dia membagi pengalaman selama mengunjungi pusat-pusat arsip di Belanda, yang memiliki koleksi mengenai Aceh yang banyak sekali. Dari penuturannya, masih banyak cerita mengenai Aceh masa lalu, terutama pada rentang waktu 1873-1930 yang membutuhkan perhatian para sarjana melalui pendekatan yang lebih luas daripada melulu sejarah politik. Tentu saja, hal tersebut bukan pekerjaan sama sekali baru. Aceh pernah memiliki sarjana seperti Gade Muhammad Ismail yang menulis Seuneubok Lada, Uleebalang, dan Kumpeni: Perkembangan Sosial Ekonomi di Daerah Batas Aceh Timur, 1840-1942. Sekarang, hal yang paling mungkin dilakukan adalah mendorong munculnya kajian sejarah Aceh secara kritis. Hal tersebut penting, sebab, bukankah salah satu faktor yang membuat orang Aceh sulit melihat ke masa depan karena tarikan masa lalunya yang kuat?