Lionel Messi menangis sesenggukan setelah memberi salam perpisahan di depan petinggi klub, kolega, dan keluarganya. Sepertinya, ini merupakan tangis yang paling dramatis setelah 30 Juni 1990 di Roma. Saat itu Maradona bercucuran air mata setelah gagal membawa Argentina mempertahankan Piala Dunia yang direbutnya empat tahun lalu di Mexico. Bagi anak kecil yang mencintai sepak bola melalui diri pemain itu, tidak ada cerita yang lebih menyedihkan dari fragmen itu. Tangisan, yang diiringi sorakan cemooh oleh penonton di stadion yang didominasi pendukung tim Jerman dan warga Italia Utara yang jengkel kepadanya sejak dahulu, begitu membekas bagi dirinya.
Tiga dekade berikutnya, tangisan serupa kita lihat juga dari Messi, pemain yang dianggap paling mendekati kualitas Maradona. Namun, dia menangis tidak di tengah lapangan dengan sorot lampu, kamera, dan pandangan jutaan orang di seluruh dunia. Messi menangis di dalam ruangan yang sudah menjadi rumahnya sejak dua puluh satu tahun lalu. Semua yang berada di ruangan itu tercekat. Begitu juga para penonton yang mengikuti acara perpisahan itu melalui berbagai platform digital.
Ada banyak rumor yang menyelimuti alasan dia harus meninggalkan Barcelona. Masalah yang awalnya terselesaikan, seperti pemotongan gaji, lalu menjadi rumit sekali. Hal yang akhirnya membuat Messi harus meninggalkan klub itu.
Banyak orang yang mengira dia akan mengakhiri karir di Barcelona, tetapi takdir berkata lain: Messi memilih pergi. Sama seperti Xavi dan Iniesta, dua pemain yang menemaninya tumbuh menjadi pemain hebat. Bedanya, Xavi dan Iniesta menghindari kompetisi sepak bola di negara-negara Eropa, sesuatu tindakan yang membuat mereka tidak akan berhadapan dengan mantan timnya itu.
Lalu bagaimana dengan Messi?
Rumor terakhir, dia akan berlabuh di PSG. Itu klub kaya sekali. Kepunyaan orang Arab. Di PSG, dia akan ditemani oleh Neymar dan Mbape. Dengan formasi demikian, lagi-lagi, Messi tidak akan menderita. Dia tidak akan seperti sendirian seperti di Barcelona di musim-musim terakhirnya. Messi memang pemain yang harus berada di dalam perlindungan.
Sulit membayangkan Messi mampu bermain layaknya Maradona, pemain yang sanggup menahan seluruh beban di pundaknya. Messi pun tidak ingin seperti itu. Dia sadar kalau bukan Maradona. Namun, kita jangan berharap dia akan berbicara seperti Ibrahimovic ketika mengungkapkan perasaannya kepada Maradona. Dia cukup menunjukkan melalui simbol jersey Newell’s Old Boys setelah mencetak gol ketika berhadapan dengan Osasuna. Cara Messi menempatkan Maradona itu sekaligus menutup perdebatan yang tidak penting sekaligus tidak patut: Siapa yang lebih hebat, Maradona atau Messi?
Percakapan yang barangkali perlu diketengahkan sekarang adalah bagaimana nasib Barcelona sepeninggal Messi. Atau, bagaimana nasib La Liga setelah ketiadaan Messi dan Ronaldo. Apakah La Liga akan bernasib seperti seperti Serie A dalam sepuluh tahun terakhir? Atau, akan tetap mampu mempertahankan diri sebagai salah satu liga yang begengsi di Eropa.
Catatan: Tulisan ini sudah dipublikasikan https://www.acehtrend.com/2021/08/10/kolom-la-pulga/