Bahkan, Teuku Umar-pun sekalipun menjadikan warung kopi sebagai simbol kemenangan perang. Kata-kata legendaris-nya yang terpahat di monumen pengingatnya di Kota Meulaboh saya kutip dengan utuh berikut ini: Beungoh Singoh Geutanjoe Jep Kupi di Keude Meulaboh atawa Ulon akan Syahid.
Sebegitu pentingnya warung kopi sampai-sampai konsensus-konsensus politik pula dibangun dari sana.
Sekitar akhir 2005, bertempat di Solong Uleekareng, bertemu lah dua faksi yang beberapa tahun sebelumnya berperang; GAM dan RI. Saya kebetulan berada di tempat tersebut dan melihat, bagaimana Irwandi Yusuf, sebelum menjadi gubernur, mondar-mandir dari belakang ke depan untuk membawa pesan Usman Lampoh Awe kepada Djali Yusuf yang duduk di bagian depan warung tersebut.
Di Solong pula, kemudian ketegangan Pemilukada 2006 diredakan. Dengan menjadi headline di Harian Serambi Indonesia, foto Irwandi dan Humam Hamid-pun bercengkrama dengan akrab, tentu dengan masing-masing segelas kopi di depan mereka, seakan-akan seperti menunjukkan tidak pernah terjadi apapun sebelumnya.
Warung Kopi di Aceh memang merupakan arena yang paling mampu menjelaskan betapa persinggungan antar elite memerlukan sebuah ruang publik yang tepat, untuk melakukan negoisasi bahkan lobi sekalipun. Bahkan dalam beberapa hal yang lain, warung kopi menjadi tempat dimana segalanya dapat dibahas tanpa ada batasan apapun.
Fenomena Warung Kopi itulah yang kemudian berkesan bagi Yudi Latif, penulis buku tema-tema kebangsaan, ketika berkunjung ke Aceh beberapa tahun yang lalu. Baginya, warung kopi di Aceh seperti cafe-cafe di Eropa abad ke-19 yang menjadi ruang publik yang penting bagi masyarakat di sana.
Keberadaan warung kopi dewasa ini yang semakin menjamur akhir-akhir ini sebenarnya dipengaruhi oleh terbukanya Aceh melalui proyek rehabilitasi dan konstruksi tsunami dan reintergrasi politik pasca MoU Helsinki. Kedua proses tersebut memungkinkan Aceh kemudian kembali berjumpa dengan dunia di luarnya, dan warung kopi kemudian memainkan perannya secara baik.
Ketika Aceh didatangi banyak manusia dari seluruh penjuru dunia, maka yang ada di pikiran para pekerja itu adalah, selain mesjid Raya Baiturahman, adalah warung kopi. Solong Uleekareng, yang saat itu menggema sekali namanya, pernah menjadi tempat bertemuanya setiap orang yang akan datang ke Aceh, sekali-pun mereka belum pernah ke Aceh ‘ Nanti kita ketemu di Solong ya’ sambil melambai tangan sebelum menaiki pesawat.
Saya sendiri peminum kopi, di berbagai warung kopi terutama di Banda. Tidak tahu kapan awalnya mengenal warung kopi, selain dari beberapa kenangan yang selalu mengendap seperti berikut ini.
Kami sekeluarga biasa memanggilnya Bang Agam, anak laki-laki pertama di keluarga ibu saya. Saya teringat, ketika masih belum bersekolah, dia sering menjemput saya dari rumah di Banda Aceh untuk dibawa pulang ke kampung, Montasiek, Aceh Besar.
Yang paling saya ingat dari peristiwa, yang tentu sudah berlangsung lebih dari 25 tahun yang lalu, adalah kendaraan yang dinaikinya; Honda Super Cup 800 berwarna hitam. Karena saya masih sangat kecil, maka duduk di depan dan ikut memegang stang.
Perjalanan itu bagi anak kecil seusia saya saat itu tentu sangat mengasyikan. Saya selalu saja teringat, jalan provinsi Banda Aceh-Medan saat itu masih sangat lapang, karena belum penuh dengan pemukiman baru akibat dari pelebarang Krueng Aceh. Kanan kirinya adalah hamparan sawah yang menyajikan pemandangan indah dari kaki gunung Seulawah.
Sesampai di Montasiek, kami tidak langsung ke Tibangfui Mesjid, kampung Nenek dari Ibu saya. Melainkan terlebih dahulu singgah ke warung kopi Siang-Malam. Sebuah warung kopi tepat di depan Pasar Cot Goh.
Warung kopi Siang-Malam terbuat dari bahan kayu dan berbentuk panggung. Disitu saya lihat Bang Agam memesan kopi, dan saya tentu saja meminum sirup merah dingin. Masih lekat dalam ingatan ini, dinding warung kopi tersebut dipenuhi dengan poster sepak-bola dari Piala Dunia, entah itu tahun 1978 atau 1982, saya tidak begitu ingat detil. Dan kabar baiknya, warung kopi Siang-Malam masih tegak berdiri hingga hari ini.
Ingatan berikutnya adalah warung kopi Cut Li. Terletak tepat di depan Rumah Sakit Umum Zainal Abidin. Karena startegis dan memiliki area yang luas, warung itu menjadi tempat ‘tongkrongan’ favorit laki-laki dewasa kala itu. Mahasiswa, dan juga pekerja, yang juga tinggal mengontrak rumah di lingkungan ku, yang memang tidak jauh dari warung Cut Li, juga memilih tempat itu untuk menghabiskan rasa penat dan lelah setelah beraktiftas.
Untuk warung tersebut, ingatan ku yang paling berbekas adalah pada satu malam di tahun 1996, bersama teman-teman sepermainan, tiba-tiba berubah menjadi laki-laki dewasa. Kami dengan gagahnya mendatangi warung Cut Li, hanya untuk menonton final Piala FA, antara MU vs Liverpool, langsung dari Wembley Stadium! Saat itulah saya mengetahui betapa ektase-nya menonton bola di warung kopi: berteriak, bersorak dan memukul meja sekuat-kuatnya. Hal yang saya pelajari setelah melihat Cantona mencetak gol dari luar kotak penalti, yang kemudian membawa MU juara piala FA saat itu.
Dan kabar buruknya, warung itu telah punah. Pemiliknya telah pindah ke Makasar dan bangunannya pun kini lenyap. Berganti Ruko yang kokoh berdiri dengan sangar.
Sekarang tentu, sebagaimana yang telah saya singgung di awal tulisan ini, warung kopi yang kini sering saya kunjungi adalah yang ‘bermazhab’ Solong. Dalam artian, warung kopi di seputaran Banda Aceh yang memiliki kaitan dengan Solong Ulee Kareng, entah itu melalui bubuk kopinya, racikannya atau juga pernah bekerja di sana.
Bersama teman-teman, Pak Tar, Syukurdi, Musyu dan dulunya juga Asnawai Muhammad Salam, yang wafat pada peristiwa Tsunami yang lalu, kami melihat tidak hal yang berubah dari setiap warung kopi yang kami datangi. Dia-nya selalu menjadi tempat yang menawarkan kenyamanan, kesetaraan dan keterbukaan bagi siapa-pun. Bahkan tidak melulu untuk laki-laki.
Oleh karena itu-lah, tidak berlebihan kalau saya mengatakan bahwa warung kopi adalah salah satu cara untuk memahami wajah Aceh.