Ketika melihat baliho-baliho elite politik yang bertebaran di jalan utama kota-kota di Indonesia, hal pertama yang saya pikirkan adalah kemampuan bisnis seperti apa yang dimiliki oleh konsultan politik, untuk meyakini kliennya supaya memasang benda yang sebenarnya mengesalkan itu. Bayangkan, di zaman yang katanya digital, paperless, serba terhubung, dan algoritma ini, masih ada gagasan untuk memasang baliho demi mendapatkan perhatian publik.
Apakah elite politik tidak mengetahui kalau definisi publik pun kini mulai berubah. Tidak lagi melulu di ruang fisik seperti tempo hari, melainkan publik yang berada di ruang digital pun merupakan sesuatu yang riil. Bahkan, kecendrungan publik untuk memilih ini, menyukai itu, benci kepada pulan, dan suka pulen dilihat dari pergerakan suara di ruang digital.
Jangankan suka tidak suka kepada politisi, bahkan kini, public dapat memilih agamawan sesuai dengan kecendrungan keberagamaannya. Bagi yang menyukai dengan ulama bersorban dan bertongkat, maka mereka akan mencari di internet ceramah-ceramah mereka. Bagi yang suka ustad yang memakai topi haji dan berjenggot, mereka juga akan mencari ceramah dari yang bersangkutan.
Betapa berubahnya dunia sekarang, politisi-politis itu malah menjadikan baliho sebagai cara mengenalkan diri. Tidak untung; malah buntung.
Namun, ada yang bertepuk tangan, yaitu para pengusaha baliho, spanduk, dan usaha percetakan. Sejak cara hidup kita berubah dari citizen ke netizen, pengusaha yang selama ini tumbuh dengan cara-cara lama, harus gulung tikar. Misalnya saja perusahaan media cetak, betapa banyak surat kabar yang dahulunya akrab dengan kita. Setiap pagi, surat kabar harus menjadi menu wajib bagi siapa pun yang hendak mengetahui peristiwa yang terjadi sehari sebelumnya. Namun hal itu berubah, ketika manusia mengenal internet dan media sosial. Berita dan informasi tidak lagi dimonopoli oleh sekelompok orang. Karena perubahan teknologi, setiap orang dapat memproduksi informasi tentang peristiwa yang terjadi.
Barangkali, sebelum gelobang baliho itu menerjang, mereka sudah putus asa dalam hidupnya. Dengan mata kosong, mereka menatap televisi, mendengar radio, dan minum kopi dengan teman-teman di pos ronda, sambil bergumam, “Gara-gara dunia digital, media sosial, website dan sejenisnya, luluh lantak bisnis kita.”Mereka yang sudah berputus asa itu, mungkin pun akan berganti pekerjaan, tiba-tiba bertubi-tubi mendapat pesanan untuk mencetak baliho dalam jumlah besar.
Golongan inilah yang benar-benar merasakan rezeki yang jatuh dari langit itu. Ketika para pakar perilaku politik memberi analisa bahwa ceruk yang harus digarap adalah para pengguna media sosial, para politisi-politisi itu malah mencetak baliho. Anomali.
Padahal baliho tidak memberi pengaruh besar untuk membangun popularitas. Para politisi yang gemar memasang baliho, seperti: Puan Maharani, Airlangga Hartarto, dan Muhaimin Iskandar, malah kalah jauh popular berbanding dengan politisi yang lebih sering wara-wiri di media sosial seperti Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
Kalau sudah begitu, untuk apa lagi pasang baliho?