2 menit waktu baca

Dekapan Tradisi

Dekapan Tradisi
Kredit foto Pexels
Indonesia, secara umum, kita tumbuh sedari kecil dalam dekapan tradisi, terutama agama – dalam hal ini Islam. Di masa hidup itu, kita diperkenalkan dengan praktik ritual, doktrin, ajaran, keyakinan ilahiah, dan eskatologis. Bangunan tradisi itu kita terima dengan terbuka di masa kanak-kanak. Tidak jarang, kita menggunakan simbol-simbol kearab-araban, yang dianggap mewakili Islam, demi mendekatkan diri kepada tradisi itu.

Tradisi keberagamaan yang kita terima sejak masa kecil, lalu remaja, dan beberapa ada yang sampai masa dewasa, didukung oleh konstruksi masyarakat komunal. Tipikal masyarakat yang sangat kuat sekali ikatannya. Hampir tidak ada ruang untuk pilihan individu. Masyarakat demikian dapat mengintervensi, baik langsung atau tidak setiap pilihan individu. Atau paling tidak, individu harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan masyarakat yang sudah ada.

Misalnya, kita selalu diikat melalui oleh kebiasaan yang telah tumbuh sejak lama, seperti perayaan hari-hari besar keagamaan, ibadah-ibadah komunal – seperti sembahyang Jumat dan sembahyang tarawih di bulan puasa. Bahkan dalam masyarakat komunal, pernikahan – yang pada dasarnya kesepakatan dua individu– dilihat sebagai bagian penting dari sebuah komunitas. Sehingga pernikahan, dan juga resepsinya, dirayakan dengan suka cita oleh keluarga, saudara, tetangga, aparatus desa, dan kolega.

Ketika individu beranjak dewasa, lalu mulai mengambil jalan yang diyakininya, tradisi lama yang didapat di kampung halaman pada masa kanak-kanak mulai ditinggalkan. Tradisi keagamaan yang didapatnya sejak awal mulai diletakkan ketika dia beranjak untuk menempuh jalan baru, yang terbentuk dari perjumpaannya dengan masyaraka yang dijumpainya di usia dewasa. Sering kali, lingkungan barunya berbeda dengan tradisi lamanya yang awal mulai ditemuinya itu. Keadaan demikian akan membuatnya berada pada pilihannya, seperti menjauhi tradisi yang sejak awal diterimanya, bahkan tidak jarang menampilkan perlawanan. Bagi individu tersebut, tradisi lama itu dianggap dapat menghambat arah kemajuan yang sedang ditempuhnya.

Namun, sejauh mana tradisi yang telah mendekap dan mengendap itu dapat dilawan. Bukankah panggilan untuk kembali ke tradisi sebenarnya sangat kuat.

Apalagi kini, setelah ekspresi beragama yang menjadi tradisi dari masa kecil, begitu menyeruak di ruang publik. Setiap orang mudah sekali menemukan agama di mana pun dia berada. Ini adalah era agama. Bahkan, di banyak platform digital, hampir semuanya pesan agama yang kita jumpai. Seakan-akan, agama ada di sekitar kita melebihi apa yang kita pikirkan tentangnya.

Dikarenakan mudahnya menemukan agama, maka panggilan tradisi, yang terbangun dari praktik ritual, doktrin, ajaran, keyakinan ilahiah, dan eskatologis, menemukan momentumnya. Banyak orang yang kemudian memilih apa yang disebut jalan hijrah; jalan kembali. Tidak jarang, praktik kembali ke tradisi agama itu ditandai dengan semangat keberagamaan yang berlebih-lebihan. Hal terebut didorong oleh keinginan untuk hidup dengan selamat setelah kematian, sehingga berakibat tidak mengindahkan capaian duniawi.

Atau jangan-jangan, hal demikian bukanlah tradisi agama yang kita bekap sejak kecil. Bisa jadi, yang kita anggap sebagai tradisi itu ternyata juga sudah jauh meninggalkan kita. Tanpa pernah bisa kembali. Langsa, 1 Agustus 2021

Komentar Facebook
Kuy, berbagi...

0%