Dengan memakai kaos berkerah berwarna hitam, duduk dengan tenang di antara tumpukan buku dari perpustakaan pribadinya, Fachry Ali berbicara mengenai sejarah revolusi Indonesia. Dia menyampaikan pikirannya itu dalam sebuah podcast yang dikelola Ichan Loulembah, mantan anggota DPD RI, yang kini gemar berselancar di platform digital.
Fachry menjelaskan konteks kesejarahan itu dengan mengambil setting kampung halamannya di Susoh, Aceh Barat Daya. Dia mengingat ibunya menulis lirik lagu untuk mengantar para pemuda pergi ke medan jihad membela kemerdekaan negara dan bangsanya. Fachry mengatakan, seperti para pemuda yang memanggul senjata itu, tidak ada satu orang pun yang meminta ibunya menuliskan lagu itu. Hal yang sama pula terjadi kepada ulama Aceh, seperti cerita Fachry, yang memberi dukungan terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia, ketika elit Indonesia di Jakarta mulai merasa tidak yakin dengan keberlangsungan masa depan negara ini. Elit Indonesia yang memproklamasikan negara baru harus tersingkir dari Jakarta ke Yogyakarta.
Latar kesejarahan itu secara lebih dekat dapat kita baca dari bentuk keterkejutan Muhammad Radjab, seorang wartawan, yang melakukan kunjungan ke Sumatera di tahun 1947-1948. Dalam bukunya, Catatan di Sumatera (1958), dia terkesima ketika melihat pemuda-pemuda Aceh yang bersemangat untuk maju ke peperangan di Medan Area. Para pemuda itu menunjukkan perasaan tanpa takut sedikit pun untuk terjun ke pertempuran itu, bahkan juga menceritakan kalau teman-teman mereka sebelumnya sudah ada yang gugur di peperangan itu.
Fragmen-fragmen di atas terjadi juga di berbagai daerah di Indonesia, baik tercatat atau tidak; baik besar mapun kecil. Keseluruhan dari fragmen demikian adalah kisah mengenai Indonesia yang sedari awal dipupuk oleh semangat keberagaman, apa pun latar belakangnya: budaya, etnik, orientasi politik, agama, dan sejarah. Kesadaran akan hal ini penting diketengahkan, sebab acapkali rasa frustasi dan ketidakpuasan terhadap pengelola pemerintahan di Jakarta, selalu berujung kepada sentimental identitas. Beberapa pengalaman pemberontakan politik di Indonesia, sejak dari Demokrasi Liberal sampai Orde Baru, selalu saja menyertakan identitas sebagai bahan bakar perlawanannya, setelah sebelumnya terjadi kisruh dalam pembangunan.
Oleh karena itu, untuk mengelola negara yang kompleks seperti Indonesia, banyak langkah-langkah strategis yang harus diambil supaya tidak terulang pengalaman pahit masa lalu. Diantaranya adanya politik pengakuan (political recognition) melalui penyusunan narasi kebangsaan, baik resmi maupun tidak. Contoh kecil dari pekerjaan itu dapat dilihat dari apa yang dilakukan terhadap Ong Hok Ham, sejarawan Peranakan Tiongha, yang awalnya diabaikan. Peter Carey, sejarawan yang menghabiskan umurnya meneliti Pangeran Diponogoro dan Perang Jawa, melihat hal demikian dengan perasaan masygul. Dalam pengantar untuk buku Ong Hok Ham, Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di Karesidenan Madiun Abad XIX, Carey mengusulkan foto sejarawan alumnus Yale University dipampang di Museum Hakka di TMII. Apa yang dilakukan terhadap Ong Hok Ham itu tidaklah dilihat sebagai pengakuan terhadap dia secara pribadi, tetapi lebih kepada mendudukkannya pada kontribusi Peranakan Tiongha, yang sepanjang ingatan sosial di Indonesia dianggap kecil bagi negeri ini.
Hal yang sama juga dapat dilakukan untuk pejuang negeri di berbagai daerah yang telah mempertahankan kemerdekaan Indonesia di masa-masa awal. Di sini kompleksitas yang terjadi. Nama-nama yang dahulunya berjuang, kemudian ikut melakukan pemberontakan terhadap pemerintah pusat, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh republiken di Aceh, atas nama Darul Islam. Pemberontakan Darul Islam Aceh, yang dipimpin oleh Daud Beureuh, itu terjadi karena tokoh-tokoh pendukung utama republik muda Indonesia itu merasa tidak puas dengan cara pemerintah pusat mengelola negara dalam relasinya dengan daerah. Pemberontakan Darul Islam itu kemudian memang berujung pada proses perdamaian, tetapi tokoh-tokoh yang dahulunya berjuang demi negeri ini, tercederai namanya, sehingga tidak mendapatkan ruang untuk diakui.
Misalnya saja untuk memberikan gelar pahlawan nasional yang terhambat kepada Daud Beureuh, ulama yang menjadi tulang punggung kemerdekaan Indonesia di masa awal. Namun, karena ketidakpuasan kepada pemerintah pusat, dia melakukan pemberontakan. Daud beureuh dan orang-orang garis terdepan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia akhirnya terhalang untuk diakui secara politik di Indonesia. Dalam konteks politik pengakuan, negara ini harus memiliki jalan bijak untuk menyelesaikan sekat-sekat psikologis ini. Sebab, hal itu juga terjadi di banyak daerah di Indonesia, yaitu orang-orang yang mulanya mendukung pendirian repubik kemudian menjadi orang yang melawan. Melawan karena impiannya terhadap indonesa berbeda dari apa yang sejak awal dia perjuangkan.
Politik pengakuan adalah jalan utama untuk membentuk narasi bersama. Bangsa ini memerlukan hal itu sebagai modal merayakan keindonesiaan kita. Tanpa upaya untuk membangun langkah tersebut, negara ini akan kehilangan reasoning untuk terus hidup dalam waktu yang lama. Sebab, sejak awal mula, Indonesia dibangun dengan keinginan hidup bersama, upaya pencarian identitas yang serupa, dan membangun penderitaan yang sepadan. Oleh karena itu, negara ini harus menjadi alas yang lebar untuk menampung semua varian narasi yang ada, tetapi ditujukan untuk membangun Indonesia, terutama di dalam momen bulan proklamasi kemerdekaan ini.