Dua puluh lima tahun lalu, perhitungan suara begitu meriah di TPS desa saya. “Partai Masyumi!” Semua bertepuk tangan. “Wah, Masyumi,” kata kami sumringah dengan melihat bapak saya yang tersenyum gembira. Di TPS tersebut, pemilih Masyumi cuma satu, yaitu suara dari bapak saya.
Bapak saya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil. Pemilu yang kami sambut dengan semarak itu merupakan episode elektoral pertama di era Reformasi. Ada eforia membuncah di kalangan masyarakat setelah puluhan tahun hanya mendapatkan tiga nama partai di kertas suara. Di era reformasi, semua orang mendirikan partai dengan aliran ideologi apa pun, termasuk Partai Masyumi.
Tentu, bapak saya mengetahui bahwa memilih Masyumi bukan untuk mencari kemenangan. Pilihannya seperti hendak melalui lorong waktu ke masa lalu. Bapak saya tumbuh dalam gegap gempita politik itu. Dia melihat dari dekat segala perubahan politik, terutama sejak awal babak Demokrasi Liberal. Kedekatannya dengan partai berbasis Islam tentu dipengaruhi oleh ayahnya yang merupakan tokoh utama PUSA, Masyumi, Parmusi, dan PPP.
Kisah PPP selalu saja unik. Di lingkungan kecil tempat kami tinggal, mayoritas pemilih Golkar, kecuali dua tetangga kami dan, tentu saja, bapak saya. Namun, bagi dua tetangga kami itu, memilih PPP bukanlah hal yang rumit karena mereka bukan Pegawai Negeri Sipil, berbeda dengan bapak saya. Kalau saya mengingatnya sekarang, tentulah memerlukan nyali yang tidak sedikit – sebagai Pegawai Negeri Sipil – untuk berbeda pilihan dengan ketetapan pemerintah. Resikonya tentu tidak sederhana. Oleh karena itu, wajah sumringah bapak saya setelah melihat pilihannya pada Partai Masyumi di Pemilu 1999 dibacakan dengan lantang oleh Panitia Pemilihan Umum, dapat dipahami.
Kini, perkembangan terakhir Pemilu tentulah berbeda jauh. Kebanyakan dari kita tidak lagi menunggu di TPS untuk mengetahui partai dan caleg yang meraup suara. Metodologi, teknologi, dan moda trasportasi telah mengubah hal tersebut secara radikal. Sekarang, setelah sesaat TPS ditutup, di televisi dan internet kita melihat pergerakan suara yang dihitung melalui metode perhitungan cepat atau quick count. Perhitungan yang menggunakan sampel TPS, bukan populasi.
Saya masih teringat awal mulai metode quick count hadir pada Pemilu dan Pemilihan Presiden secara langsung di tahun 2004. Keberadaannya bersamaan dengan munculnya tradisi survei untuk memotret perilaku pemilih. Awalnya, Quick count ditolak. Salah satunya oleh Bambang Sudibyo. Bambang merupakan bagian dari pemenangan Amien Rais dalam Pilpres kala itu. Hasil quick count di putaran pertama, suara Amien Rais terpental jauh dibandingkan dengan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono. “Apakah kami tidak boleh berharap?” katanya dengan perasaan masygul ketika memberi pidato pascakeluarnya hasil quick count.
Sekarang, quick count sudah dilihat sebagai sesuatu yang jamak di setiap perhelatan electoral di berbagai tingkatan. Secara psikologis, konstentan dan pendukung mulai menerima secara aksiomatik apa pun hasil perhitungan cepat tersebut. suasana kebatinan itu juga terlihat pada Pilpres kali ini. Hasil yang didapati oleh Prabowo dan Gibran, suka tidak suka, diterima sebagai kenyataan politik, sambil menunggu real count dari KPU.
Keberadaan quick count ini membantu beberapa hal, pertama memberi hasil yang lebih cepat sehingga tidak terjadi syak wasangka yang dapat menimbulkan keonaran. Kedua, memastikan transparansi dari penyelenggara pemilu. Ketiga, membawa keterlibatan masyarakat secara luas untuk menyaksikan hasil yang mendekati kebenaran. Keempat, penghormatan terhadap metode ilmiah dalam dunia politik kita. Walau, tentu saja, dengan quick count, kita kehilangan kegembiraan seperti yang saya saksikan dua lima tahun silam ketika melihat bapak saya tersenyum bahagia.
Langsa, 14 Februari 2024