Sukarno menyebut kalau kemerdekaan sebagai jembatan emas. Frasa dari Sukarno itu lebih dari cukup menjelaskan kepada kita mengapa kemerdekaan satu negeri itu penting. Tanpe kemerdekaan, maka hidup sebuah negeri tidak akan bermuka tegak. Oleh karena itu, dalam definisi Sukarno, merdeka merupakan sebuah Tindakan. Tidak bisa ditunda-tunda. Itulah kenapa, sukarno beberapa bulan sebelum membacakan proklamasi kemerdekaan di Jakarta, berpidato di hadapan anggota persiapan kemerdekaan bentukan Jepang, yang menyatakan kalau tidak perlu harus mempersiapkan ini dan itu, baru bicara kemerdekaan. Dia lalu memberikan contoh negara Arab Saudi dan Revolusi di Rusia.
Memanglah, memerdakan sebuah negeri yang unik seperti Indonesia pekerjaan yang maha berat. Sebab negeri ini sejak awal sudah berdiri sebagai entitas yang khas dan otonom. Kedatangan negeri-negeri dari Eropa itulah yang membuat entitas yang berserak ini dapat dipersatukan. Ada keterpautan secara emosional – atas apa yang disebut sebagai bangsa.
Keterpautan itu kemudian menghasilkan kesimpulan untuk menyusun sebuah negara bersama, yang oleh Sukarno sebut menjadi milik semua golongan. Tidak boleh ada yang merasa lebih berhak di atas yang lain. Itulah mengapa kita dapat memahami ketika dia meletakkan sila Kebangsaan sebagai awal mula. Bagi Sukarno yang mendambakan persatuan nasional itu, gagasan kebangsaan dianggapnya tepat untuk menjembatani keberagaman dan kompleksitas yang dimiliki Indonesia.
Kita beruntung bahwa sejak awal pendiri bangsa ini sadar dengan kompleksitas Indonesia. Kalau saja hal itu diabaikan, belum apa-apa, negara ini tidak akan berumur panjang. Perspektif itu kemudian dilanjutkan dengan kebijakan Hatta untuk memastikan pluralitas politik atas dasar sentiment ideologi dapat berkembang di Indonesia. Padahal, awal mula, Sukarno sudah mulai mendorong keseragaman politik dengan menawarkan konsep Partai Negara.Ide yang sebenarnya dapat dia jalankan empat belas tahun kemudian dalam bingkai Demokrasi Terpimpin.
Dikarenakan negara ini dibangun di atas bangunan-bangunan lama bangsa tua (old nation), maka semangat dari para pendiri bangsa untuk memastikan segala pandangan dan orientasi politik dapat hidup di negara ini dengan semestinya. Walau harapan etik ini kemudian akan terbentur dengan realitas politik: atas dasar pengakuan terhadap kebhinekaan, maka segala pandangan dan orientasi identitas – yang bisa jadi malah mengancam bangunan kebangsaan kita – harus dihargai. Di sinilah kerumitannya.
Oleh karena itu yang harus dilakukan awal mula adalah aturan main yang meletakkan stabilitas negara dan bangsa terjamin. Pikiran seperti beresiko juga karena akan membuka kesempatan kepada rezim yang otoritarian mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara untuk membungkam pihak yang berbeda.
Lalu apa yang kita tawarkan untuk menjaga ritme perjalanan bangsa ini?
Demokrasi? Biasanya orang akan cepat-cepat menjawab dengan cara seperti itu. Demokrasi. Seakan-akan demokrasi adalah obat segala obat. Padahal demokrasi bukanlah sekadar datang ke kotak suara, lalu memberikan suara. Seakan-akan yang bersangkutan telah terlibat penuh, padahal dia hanya memberi jalan kepada politisi untuk mengatur segala hal.
Kalau demokrasi tidak otomatis jalan keluar untuk menjaga nafas panjang negara ini, lalu konsep yang bisa diketengahkan? Jawabannya, tidak tahu. Seperti ketidaktahuan dari pembaca teks proklamasi di Jakarta tujuh puluh enam tahun silam. Apakah setelah pernyataan kemerdekaan dibacakan, negara yang dimaksud itu benar-benar terwujud atau tidak. Ternyata, negara dari ketidaktahuanlah yang akan kita rayakan kembali hari lahirnya, esok hari.