Dalam tulisan ini — semoga tidak hal yang berulang saya tulis, kalaupun berulang, anggap saja hal baru — saya hendak melanjutkan mengapa itu bisa terjadi. Mengapa MoU Helsinki tidak diingat, bahkan pada titik tertentu malah tidak begitu berarti keberadaannya, berbanding Ikrar Lamteh itu.
Saya mengawali dengan satu argumen bahwa MoU Helsinki tidak menjadi milik bersama karena sedari awal sudah dibajak oleh politik. GAM, sebagai pihak penandatangan MoU Helsinki, kemudian bertransformasi menjadi kekuatan politik praktis. Transformasi itu menjelaskan mereka yang dahulunya ada di hutan, untuk memperjuangkan keyakinan politiknya, kini berada di tengah-tengah kota untuk tujuan serupa. Perbedaannya adalah apabila di hutan mereka menggunaka bedil dan anak pelor sebagai bahasa perlawanan, sedangkan di kota, mereka harus mengubah pola pergerakannya — meminjam frasa dari Nezar dan Rizwan di Jurnal Prisma — Dari Senjata ke Kotak Suara. Implikasi dari transformasi itu adalah bahasa langit yang selama ini digunakan selama era perlawanan, baik tentang kemakmuran, pembebasan, sampai kedaulatan, kini harus diterjemahkan ke dalam bahasa bumi: Kebijakan politik.
Keadaan demikian yang tidak dialami oleh anggota Darul Islam Aceh. Hampir semua dari mereka kemudian tidak terlibat langsung dalam pembangunan Aceh setelah konflik. Simbol itu bisa dibaca dalam maklumat perdamaian Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang ditandatangani diantaranya oleh wakil Pemerintah Pusat di daerah: A. Hasjmy dan M. Jasin. Sedangkan nama-nama seperti Tgk. Ali Piyeung yang menjadi salah satu tokoh penting Ikrar Lamteh; kemudian, Husin Al Mujahdi, A. Gani Usman dan Hasan Saleh sebagai wakil Dewan Repolusi, tidak lagi mengambil peran politik di Aceh setelah peristiwa Darul Islam selesai. Bahkan, Daud Beureuh kembali ke kampung halaman untuk hidup bersama rakyat yang mencintainya.
Argumen berikutnya adalah sepanjang rentang masa damai setelah MoU Helsinki, praktis narasi perdamaian tidak terbangun dengan baik. Memang upaya untuk mencapai tujuan itu sudah dibangun, tetapi selalu gagal. Misalnya, pada polemik bendera dan lambang daerah. Dikarenakan ada sekat psikologi dan sejarah, sampai sekarang kedua hal itu belum bisa diterjemahkan dengan konkret. Belum lagi kita mengurai persoalan-persoalan kesejahteraan yang tidak terwujud selama enam belas tahun ini sehingga menyebabkan gegar di tengah masyarakat semakin kuat.
Apakah hal serupa tidak terjadi di Aceh setelah Darul Islam? Nazaruddin Syamsuddin, dalam buku Integrasi Politik di Indonesia (1989), mengatakan di zaman Sukarno, setelah selesai peristiwa Darul Islam Aceh, daerah ini tidak diusik. Aceh dibiarkan tumbuh dengan otonom. Masalahnya baru terjadi ketika Orde Baru menggantikan Sukarno. Ketegangan yang mulai reda mulai tumbuh kembali gara-gara persoalan yang sama: Tidak menghormati identitas daerah Aceh.
Persoalan identitas kemudian dihubungkan dengan kegagalan pembangunan di Aceh. Padahal dengan penemuan gas alam di Aceh Utara telah ikut memberi kontribusi pembangunan nasional. Atas nama identitas dan ketimpangan pembangunan itulah Aceh kembali bergejolak. Namun, di tengah rasa frustasi orang Aceh yang tidak juga mampu mengejar ketertinggalan pembangunan itu, todongan amarah tidak diarahkan kepada anggota Darul Islam, yang dahulunya angkat senjata melawan pemerintah Jakarta yang lalu menghasilkan capaian-capaian politik, budaya, dan ekonomi. Telunjuk kemarahan diarahkan bulat-bulat ke arah Jakarta. Hal yang berbalikan di Aceh pasca MoU Helsinki ini.
Hari ini, kesepakatan untuk berdamai di Helsinki dirayakan. Ini merupakan peristiwa penting yang harus selalu diingat. Sebab menghentikan permusuhan dan memilih damai merupakan jalan yang lebih beradab dibanding terus menerus melempar api permusuhan. Tinggal sekarang hal dibicarakan apakah perdamaian, yang sudah memasuki dua windu ini, akan memberikan kebahagian bagi orang Aceh. Atau, jangan-jangan, MoU Helsinki ini malah kembali menjadi simbol orang Aceh mengenai rasa frustasi, putus asa, dan amarah, yang kemudian menjadi bahasa perlawanan baru terhadap Jakarta.