Perbedaan mendasar selama sepuluh tahun ini adalah perubahan perilaku pemilih dan corak kampanye politik di Indonesia. Pada Pilpres kali ini, percakapan menjadi tradisi, dibanding sepuluh tahun lalu ketika perilaku menjadi cara berpolitik. Sepuluh tahun lalu, penyebab politik tanpa membicarakan gagasan karena ditarik oleh ketatnya politik identitas. Sekarang, politik adalah perdebatan, benturan, dan gugatan. Yang saya maksud perbandingan dalam sepuluh tahun ini adalah blusukan pada Pilpres 2014, dengan aktor utama Jokowi; desak, dengan aktor utama Anies Baswedan pada Pilpres 2024.
Dua tipikal kampanye ini menjelaskan transformasi politik di Indonesia. Pada tahun 2014, ada kesadaran untuk memenangkan reformasi dengan mendorong supremasi sipil pada sosok Jokowi. Kebetulan, yang dilawan saat itu adalah Prabowo Subianto: tentara dan mantan menantu Suharto.
Tentu saja, saat itu pertaruhan besar bagi reformasi politik Indonesia, yang mencita-citakan demokrasi, supremasi sipil, dan kebebasan individu. Kala itu, segala cita-cita reformasi tidak tepat berada di tangan Prabowo. Dia digugat. Keberadaannya dianggap akan membawa Indonesia kembali mundur ke belakang. Semua was-was. Reformasi harus diselamatkan. Lalu,harapan diletakkan pada pundak Jokowi.
Jokowi awalnya bukanlah elite politik Indonesia. Namanya tidak dikenal ketika gerakan perubahan terjadi di Indonesia di tahun 1998. Zaman itu, Jokowi hanyalah seorang pengusaha mebel. Kemudian, dia mencari peruntungan politik dengan ikut dalam pemilihan Walikota Solo melalui PDI Perjuangan.
Nasibnya baik. Sepertinya, selalu begitu.
Dia terpilih sangat meyakinkan pada periode keduanya di Solo. Alasan keterpilihannya adalah Jokowi tidak seperti politisi kebanyakan. Dia datang menyentuh hati rakyat; dia hadir sebagai wakil dari rakyat yang terpinggirkan. Profil Jokowi sangatlah identik dengan semangat PDI Perjuangan sebagai partainya kaum wong cilik.
Kemudian, Jokowi melangkah maju. Dari Solo, dia menuju Jakarta. Di Jakarta, dia menjadi bintang terang di langit politik Indonesia. Jakarta ditaklukkan. Dari kantor Gubernur Jakarta, Istana di Gambir terlihat terang benderang. Dua tahun setelah duduk di Jakarta, dia meraih kursi yang hanya bisa didapat jika takdir berkehendak: Presiden Republik Indonesia.
“Jokowi terpilih,” tulis Fachry Ali, “sebagai fenomena pascaelite.” Yang dimaksud pascaelite, kata Fachry, adalah kehendak rakyat yang menunjuk orang yang tidak datang dari lingkaran elite politik Indonesia selama ini, rakyat memilih dari golongannya sendiri. Jokowi mewakili ekspresi keseluruhan rakyat kala itu, yang selama berdekade melihat para elite melakukan orkestrasi politik di depan mata mereka. Memilih Jokowi, kira-kira rumusnya begini: untuk memutus mata rantai kekuasaan elite politik dengan menyerahkan kepada sosok yang paling mewakili rakyat kebanyakan, yaitu mereka yang terhimpit oleh penderitaan dan tidak dianggap sebagai bagian nyata dari cita-cita republik.
Oleh karena alasan itu, blusukan Jokowi adalah ajimat politiknya. Jokowi pada tahun-tahun kemunculannya tidak banyak berbicara. Memang, dia – saat itu – memiliki keterbatasan artikulasi. Tetapi, rakyat non-elite tidak membutuhkan kata-kat. Mereka inginkan adalah kerja demi kerja. Keterbatasan kosakata dan artikulasi itulah yang ditutupi Jokowi dengan aksi nyatanya. Aksi Jokowi seperti hendak mengatakan: yang banyak berbicara bukanlah wakil sesungguhnya dari mayoritas rakyat. “Berbicara adalah rapal-rapalnya elite,” begitu titah yang seperti turun dari langit.
Kemunculan Jokowi dapat dipahami sebagai frustasinya intelektual dan kelompok sipil yang melihat reformasi politik belumlah sepenuhnya menciptakan supremasi sipil. Militer, sebagai pihak yang digugat karena berkuasa selama tiga dekade, masih menampilkan dominasinya. Tidak saja pada dua simbol pejuangan demokrasi Indonesia: Gus Dur dan Megawati, tumbang di tengah jalan, bahkan juga mantan jenderal dengan senyum mengembang ikut dalam penghelatan politik, seperti Wiranto, Prabowo, dan Susilo Bambang Yudoyono.
Akibat itulah, kedatangan Jokowi ke Jakarta disambut dengan memberikannya karpet merah kekuasaan. Mimpinya adalah Jokowi menjadi contoh bagaimana meriktokrasi dan supremasi sipil bisa tumbuh sebagai tradisi politik di Indonesia.
Sepuluh tahun berjalan, warisan politik Jokowi digugat, lalu rakyat mulai berbicara. Ada kesadaran bahwa demokrasi bukanlah apa yang diperlihatkan oleh pemimpin, melainkan apa yang saling dibicarakan antara rakyat dengan pemimpin. Lalu, muncul Desak Anies pada Pilpres 2014 ini.
Desak Anies – yang dilanjutkan oleh Tabrak Professor — merupakan bentuk baru dari tumbuhnya generasi baru di Indonesia. Generasi yang lebih sehat, melek politik, dan akrab dengan teknologi. Kelompok inilah, seperti yang disaksikan oleh Abdur Rasyid, datang dari anak muda. “Ini acara politik, lho. Kampanye. Yang dulu image-nya acara orang tua, membosankan, jadi olok-olok di tongkrongan, lalu sekarang, orang mengantri, anak muda hadir, di-post di sosmed dengan rasa bangga, tidak lagi jadi bahan olok-olok, dan semuanya tanpa mobilisasi uang, “tulisnya.
Hakekat demokrasi memang demikian, tentang gagasan, oleh karena itu perhelatan elektoral haruslah memberi ruang adanya benturan gagasan itu. Rumusan ini sepertinya jatuh bangun dalam pengalaman panjang sejarah politik Indonesia modern, walaupun ada masa ketika monolog sebagai sabda, seperti: revolusi belum selesai atau stabilitas pembangunan. Saat itu, benturan ide diselesaikan dengan keberadaan pemimpin besar yang kultusnya mendekati messiah. Kata-katanya bak ajimat, dipegang untuk dijalankan sebagai ajaran. Implikasinya adalah berbeda dengannya berujung pada kekalahan secara politik.
Apakah perdebatan tidak pernah bisa menjadi tradisi dalam demokrasi kita? Mengapa kerasnya perdebatan gagasan dibawa kepada rendahnya etiket sebagai orang timur? Pertanyaan ini menggelayut karena kita, di Indonesia, datang sebagai manusia yang hendak modern – salah satunya dengan demokrasi – tetapi masih membawa tradisi yang datang dari ingatan masa lampau. Itulah mengapa oposisi – yang sebenarnya anak sah dari demokrasi – dianggap sebagai penumpang gelap dalam demokrasi Indonesia. Oposisi disebut sebagai cara yang tidak sopan karena mengabaikan sikap ewuh pekewuh terhadap pemimpin.
Dengan demikian, ketidakhadiran benturan gagasan dalam demokrasi kita, bahkan memilih monolog sebagai ekspresi politik, menunjukkan bahwa alam demokrasi Indonesia itu menghendaki ekspresi Manunggaling Kawula Gusti. Frasa tersebut awalnya datang dari tradisi kosmik budaya Jawa, yaitu adanya peleburan antara mahluk dengan Tuhannya. Namun, melihat struktur kosmik kekuasaan Jawa yang menempatkan raja sebagai pengejawantahan Tuhan, maka demokrasi di Indonesia tidak mengizinkan manusia melawan Tuhan melalui rakyat melawan raja.
Artinya, slogan suara rakyat suara Tuhan yang datang dari Eropa Barat bukanlah tradisi murni untuk demokrasi di Indonesia. Jika keadaan ini berlanjut, kita akan menyaksikan demokrasi Indonesia yang berjalan di tempat. Alasannya adalah karena selalu ada seruan untuk membangun manusia yang otonom dengan tarikan yang datang dari masa lalu tentang harmoni antara rakyat, raja, dan Tuhan. Dua pengandaian ini akan menjadi hantu yang terus bergentayangan dalam upaya membangun demokrasi di Indonesia. Lalu, tarikannya hanya akan ada dua, melihat calon pemimpin yang diam tetapi blusukan, atau, calon pemimpin yang mengajak rakyatnya berbicara. Keadaan inilah yang akan terus menjadi gambaran khas demokrasi Indonesia sampai kapan pun. Seperti kutukan yang harus terus dijalani.
Langsa, 13 Februari 2024