Di tengah kelimpahan gelar, trofi, dan rekor, Messi menjadi pemain yang menderita ketika berkostum Argentina. Berbeda ketika berbaju Barcelona, klub yang membesarkan namanya, Messi berwajah muram ketika dia mengenakan jersey negara yang dua kali menjadi kampiun Piala Dunia. Pemain itu seperti menanggung beban berat negara yang terakhir kalinya memenangkan gelar turnamen mayor dua puluh delapan tahun yang lalu. Beban berikutnya, apalagi kalau bukan berada terus menerus di bawah bayang-bayang Diego Maradona.
Messi barangkali menjadi pemain yang disayangi oleh Barcelona, La Masia, FIFA dan brand besar lainnya. Melalui bakatnya, kerja kerasnya, dan keberuntungannya, Messi membawa klub yang hampir selalu di bawah dominasi Madrid menjadi dominan beberapa tahun belakangan. Namun, di Argentina sebaliknya. Messi selalu gagal. Celakanya, dia hampir selalu berhasil membawa negara, yang telah dia tinggalkan sejak masa kanak-kanaknya, menjadi juara.
Apabila dia berdiri di lemari yang berisi seluruh trofi yang pernah dia dapatkan, Messi mungkin akan berwajah murung ketika melihat koleksi yang ada di dalam lemari gelar dan medali dari negaranya. Hanya ada satu medali emas olimpiade dan satu Piala Dunia Junior. Selebihnya, medali yang bukan berwarna kemilau itu. Apabila menghitung medali yang dimiliki Messi untuk tim nasional, dia hanya kalah satu medali perak dari Javier Macherano, yang sudah memiliki benda itu sejak kalah dari Brasil di final Copa America 2004.
Namun, kutukan selalu gagal membawa negaranya menjadi kampiun sepertinya akan berakhir pagi ini. Messi kembali membawa negaranya masuk final turnamen mayor: Copa America.
Final yang akan berlangsung di negara yang menjadi musuh bebuyutan mereka, Brasil, akan memiliki nilai lebih, apabila mampu dimenangkan. Tidak hanya karena menjadi juara di Brasil — hal yang paling ditakuti oleh musuhnya itu — tetapi juga membuat dia dapat menarik nafas lega karena telah menyumbangkan apa yang dari dahulu dituntut kepadanya: membawa tim nasional Argentina membawa pulang piala. Seperti yang dilakukan oleh Maradona di masa lalu.
Messi memang pemain yang paling diminta untuk menggantikan Maradona, pemain yang selalu membuat Argentina dapat menegakkan wajah dalam sejarah sepak bola dunia. Walau negara itu memiliki banyak pemain pengganti Maradona: Mulai dari Ortega sampai Tevez, tetapi Messi adalah istimewa. Dia memiliki bakat, teknik, skill dan postur yang paling mendekati Maradona, kecuali satu: Kepemimpinan.
Messi selalu mendapat kritik mengenai hal itu sejak dia mendapat kepercayaan menjadi kapten tim nasional di era kepelatihan Alejandro Sabella. Messi dianggap tidak mampu mengemban tugas itu di depan pemain-pemain Argentina lainnya. Dia dianggap terlalu lemah, tidak mampu menjadi motivator ketika timnya mengalami kesulitan, dan setumpuk kritikan lainnya. Hujaman bahwa dia tidak memiliki aspek kepemimpinan — hal yang dimiliki oleh Maradona dengan cara yang mengagumkan — dapat dipahami dengan beberapa alasan.
Messi bukanlah tipikal pemain yang tumbuh dari kerasnya sepak bola jalanan. Dia tidak memiliki jalan karir demikian. Di Amerika Selatan, pemain sepak bola besar yang datang dari Argentina dan Brasil, hampir memiliki pengalaman bermain sepak bola di atas jalanan yang keras, lapangan yang tidak rata serta berdebu, dan ketidakpastian masa depan. Messi memang hampir akan melewati nasib demikian di masa kecilnya. Atau bahkan dia akan bernasib lebih buruk kalau saja bakatnya tidak menyelamatkan dirinya dengan pindah ke akademi La Masia Barcelona.
Di klub itu, Messi bermain dengan sistem, aturan, filosofi dan kultur. Bakatnya itu bahkan membuat dia tumbuh lebih cepat menjadi pemain masa depan. Karena itu juga, dia dilindungi oleh para seniornya: Ronaldinho, Deco, Puyol, Xavi dan Iniesta. Messi selalu menjadi anak kesayangan. Dia dilindungi. Messi tidak diberikan beban berat. Sederhananya, dia bermain dalam skema yang tumbuh dalam tradisi La Masia: bola yang dialirkan tanpa henti dari kaki ke kaki, lalu Messi menggiring dari area tim lawan untuk mencetak angka bagi Barcelona. Di Argentina, dia tidak mendapatkan itu. Messi harus turun menjemput bola sampai ke bawah. Singkatnya, Messi bekerja lebih keras ketika membela negaranya.
Selain itu, tidak maksimalnya Messi di tim nasional yang juga membuat kepemimpinannya tidak tampak dengan terang, karena sejak dia bergabung dengan tim senior, Argentina selalu saja dipenuhi oleh pemain yang menonjol. Kebintangan Messi di klub, seperti tidak terlampau terang ketika di tengah lapangan ada sederet pemain seperti: Riquelme, Saviola, Crespo, Ayala, Tevez, Macherano, Aimar, Veron, Zanetti, Palermo, Di Maria, dan Arguero.
Situasi demikian tidak lagi terlihat pada pagelaran Copa America edisi tahun ini. Apabila kita melihat line up, nama-nama yang mendampingi Messi hampir-hampir tidak dikenal. Bahkan Arguero dan Di Maria lebih sering dicadangkan oleh pelatih Argentina, Scaloni. Namun, dengan komposisi seperti itulah, Argentina mampu bermain dengan apik.
Di tim seperti inilah, kepemimpinan Messi terlihat kuat. Dia menjadi pengayom para pemain lain — yang pasti mengaguminya dan bangga dapat bermain satu tim dengannya. Mungkin, saat inilah kesempatan bagi Messi membawa pulang sesuatu bagi negaranya. Saatnya, Messi juara bersama Argentina.
Komentar Facebook