Salah satu hambatan psikologis yang dialami orang Aceh untuk berintergasi secara kebudayaan dengan Indonesia adalah kecakapan bertutur dalam bahasa Indonesia yang tidak terlalu baik. Apabila argumen ini dibalik, dengan melihat kesimpulan orang Aceh bergabung dengan Indonesia di permulaan abad kedua puluh, juga karena karena kecakapan berbahasa Indonesia yang baik pada saat itu. Salah satunya dengan keberadaan A. Hasjmy dalam lingkaran Angkatan Pujangga Baru. Angkatan ini berjasa menjadikan bahasa Indonesia sebagai lingua franca. Selain Hasjmy, tentu nama T. Nyak Arif diketengahkan karena atas sikap kerasnya menolak penggunaan bahasa Aceh sebagai bahasa resmi di bangku sekolah.
Pertanyaan yang sering diketengahkan apabila topik kecakapan bertutur bahasa Indonesia adalah apa yang menjadi standar berbahasa Indonesia yang baik itu. Kita harus merujuk ke mana untuk mengetahui standarisasi itu. Pertanyaan demikian rumit untuk dijelaskan, kecuali oleh mereka yang ahli bahasa Indonesia. Tentu saja, kecakapan yang dimaksud tidaklah bersifat teks book ala KBBI. Agak menggelikan kalau kita mendapatkan orang ketika berbicara dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan tata bahasa dengan tingkat kerapian ala buku pengantar di sekolah.
Akan tetapi, kita dapat mengetahui kalau ketika ada orang Aceh yang bertutur dalam bahasa Indonesia, terutama ketika berhadapan dengan orang dari pulau Jawa, terlihat kalau “cara berpikir Acehnya” ikut mempengaruhi, bahkan tanpa disadari. Salah seorang rekan tertawa sampai terbahak-bahak, ketika menceritakan salah seorang temannya yang menjadikan cara bertutur Aceh ke dalam bahasa Indonesia.
Pertanyaan pentingnya, apakah mampu orang dari satu daerah yang sangat jauh dari pusat berbahasa Indonesia yang baik bertutur dengan standar yang baik pula? Lalu bagaimana dengan pengaruh dialek daerah masing-masing yang pasti susah untuk dilepaskan. Orang Aceh dengan pengucapan huruf te dan es yang khas. Atau, orang Jawa yang tidak bisa dilepaskan pembawaan medoknya. Atau pada contoh lain pada orang Batak yang memiliki nada suara yang keras ketika bercakap-cakap.
Pengaruh dialek dan gaya tentu saja susah untuk ditutupi. Pengalaman itu serupa dengan cara orang non native bertutur bahasa Inggris. Akan selalu tampak kalau yang berbicara dari wilayah yang tidak menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa utama. Namun, hal itu dapat dipahami selama yang bertutur itu rapi dalam menggunakan setiap kalimat dan kosakata. Hal serupa barangkali dapat dijadikan basis penilaian untuk melihat bagaimana cara orang Aceh bertutur bahasa Indonesia yang baik.
Walaua hanya mendengar pidatonya dari rekaman televisi, A. Hasjmy merupakan orang Aceh yang memiliki kecakapan dalam berbahasa Indonesia. Ada nama-nama lain, untuk disebut beberapa: misalnya, Ghazali Abbas Adan, Kaoy Syah, dan A. Rahman Kaoy. Nama-nama yang disebut itu cakap dalam berbahasa Indonesia karena perjumpaan yang sangat intensif dengan pengguna bahasa Indonesia dari wilayah lain.
Perjumpaan yang intensif itu juga bisa dilihat dengan pengalaman pendidikan sejak di bangku perkuliahan strata satu di pulau Jawa. Mereka yang rata-rata yang memiliki pengalaman kuliah di pulau Jawa itu memiliki kemampuan bertutur bahasa Indonesia yang baik, di antaranya: Fuad Mardhatillah, Otto Syamsuddin Ishaq, Fajran Zein, Nezar Patria, Irwan Djohan, Mulyadi, Saiful Mahdi, Hasan Nazrey, dan Kemal Pasya.
Harapannya, ketika kemampuan berbahasa Indonesia orang Aceh semakin meningkat, kita bisa menyampaikan kepentingan daerah ini secara elegan dan sempurna di Jakarta. Memang tampak sederhana, saking sederhananya, kita sering mengabaikannya.